Rabu, 31 Desember 2014

Galangan Kapal Nasional Tidak Cukup dengan Insentif Bebas PPN dan Bea Masuk


Rapat kordinasi Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo dengan sejumlah menteri lainnya di Kementerian Perindustrian tanggal 11 Nopember 2014 lalu telah menghasilkan beberapa bentuk rencana kebijakan fiskal dan non-fiskal untuk meningkatkan daya saing industri galangan kapal nasional di luar Batam atau disebut wilayah BBK (Batam, Bintang dan Karimun), yang jumlahnya sekitar 130 galangan kapal.

Bentuk kebijakan tersebut di antaranya adalah pemberian insentif fiskal berupa pembebasan PPN dan Bea Masuk (BM) komponen kapal yang belum diproduksi di dalam negeri, seperti yang selama ini telah diberikan kepada sekitar 110 galangan kapal di wilayah BBK. Pertanyaannya, apakah bentuk insentif  tersebut cukup untuk membuat galangan kapal nasional mampu berdaya saing?  

Kebijakan tersebut tentunya akan sangat membantu galangan kapal di luar wilayah BBK yang selama ini terbebani Bea Masuk 5 hingga 12,5 persen dan PPN 10 persen, sehingga tak mampu bersaing bahkan produksi kapal baru di wilayah inimenjadi lesu, termasuk ke empat galangan BUMN yang ada. Hal ini semakin diperparah dengan pembebasan Bea Masuk pembelian kapal bekas dari luar negeriyang kini mencapai sekitar 7000 unit kapal atau terjadi penambahan armada kapal sekitar 110 persen sejak diberlakukannya asas cabotage tahun 2005.

Mengapa galangan Batam berhasil?
Selain bentuk-bentuk insentif tersebut, Pemerintah juga mengharapkan sukses galangan-galangan kapal PMA di Batam dapat dicontoh galangan-galangan kapal nasional. Mengapa galangan di Batam dikatakan berhasil dan apakah dapat dicontoh galangan kapal nasional?

Berkembangnya industri galangan di Batam bermula dari Kebijakan Menristek/Kepala BPPT selaku ketua Otorita Batam B.J. Habibie yang membangun infrastruktur dan kawasan industri di Batam pada awal tahun 1980-an. Awalnya infrastruktur tersebut dimaksudkan untuk mendukung industri migas, lalu berkembang ke industri elektronik dan industri perkapalan. Dengan penetapan wilayah ini sebagai free trade zona (FTZ) dan pemberian insentif fiskal oleh pemerintah saat itu, Singapura melakukan relokasi industri galangannya secara besar-besaran ke Batam, terutama di Tanjung Uncang. Industri ini kemudian berkembang ke wilayah lainnya seperti di Batuampar, Sagulung, Kabil, dan Punggur.

Ke empat wilayah yang tergolong FTZ tersebut secara alamiah menjadi wilayah klaster industri galangan, dimana impor komponen kapal bisa langsung ke galangan tanpa melewati pelabuhan dengan bebas bea masuk, dan produk kapalnya bebas PPN. Kondisi ini membuat jumlah galangan semakin bertambah hingga saat ini mencapai sekitar 110 galangan. Dengan skala ekonomi yang besar, secara otomatis tenaga kerja dan sumberdaya pendukungnya juga berkembang, sehingga galangan-galangan kapal di wilayah ini menjadi semakin kompetitif dan umumnya mampu meraih pesanan ekspor.

Pesatnya perkembangannya juga disebabkan karena industri galangan di wilayah ini umumnya merupakan PMA (penanaman modal asing) dari korporasi besar di luar negeri, sehingga operasionalnyamendapatkan dukungan modal, akses pasar global, desain dan enjiniiring, akses ke produsen material dan komponen kapal di luar negeri, dan teknologidari induk perusahaannya di luar negeri. Selain itu, galangan kapal di wilayah ini umumnya fokus pada pembangunan kapal tipe tertentu, dan mampu membangun dan mereparasi kapal berukuran besar karena kedalaman perairan yang cukup memadai. Tenaga produksi langsung galangan kapal di Batam hampir seluruhnya menggunakan tenaga sub-kontraktor, sehingga beban biaya tetapnya menjadi rendah.

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa, berkembangnya industri galangan kapal di Batam tidak semata-mata karena adanya insentif fiskal yang diberikan pemerintah, melainkan juga mereka memiliki keunggulan yang relatif sulit dimiliki galangan kapal di luar Batam, terutama besarnya dukungan finansial dan non-finansial dari induk perusahaannya di luar negeri, dan lokasinya yang dekat dari Singapura. Besarnya skala ekonomi industri galangan di wilayah ini juga membuat sumberdaya produksinya dapat diperoleh dengan mudah, murah, dan cepat.

Kelemahan galangan kapal di Batam
Walaupun industri galangan kapal di Batam dikatakan berhasil, namun galangan-galangan kapal di wilayah ini masih sulit bersaing dengan galangan-galangan di kawasan Asia Pasifik yang kini juga terus berkembang, khususnya di Tiongkok, Filipina dan Vietnam. Dari hasil kunjungan kami (BPPT, Kemenperin, dan BKI) ke beberapa galangan kapal di Batam pada tanggal 20-22 Nopember 2014 lalu menunjukkan bahwa, pesanan kapal baru galangan kapal di Batam sedang lesu. Hadisurya Sulistyo, Chairman PT Palma Progress Shipyard menyebut produksi bangunan kapal baru di Batam menurun hingga 75 persen.

Penyebab utama kelesuan itu adalah turunnya secara drastis pesanan kapal tongkang (barge) dan tugboat beberapa tahun terakhir, dimana kedua jenis kapal ini menjadi fokus produk bagi galangan kapal di Batam pada umumnya. Penurunan pesanan ini terjadi sejak adanya pembatasan ekspor mineral, dan turunnya harga batubara di pasar dunia terutama kategori 5000 NAR. Penyebab lainnya adalah, penghentian operasi beberapa PLTU di Tiongkok akibat polusi juga membuat pesanan tongkang menurun, seperti dikatakan Eddy Widjanarko, seorang pengusaha angkutan batubara di Surabaya.

Di sisi lain, galangan kapal di Batam umumnya belum memiliki pengalaman memadai dan keunggulan kompetitif membangun tipe-tipe kapal lainnya. Hanya galangan yang memiliki modal kuat tetap membangun tongkang dan tugboat untuk dipasarkan jika bisnis ekspor batubara kembali membaik, seperti yang dilakukan oleh Palma Shipyard. Galangan lainnya yang terlihat cukup aktif adalah galangan yang fokus membangun fasilitas bangunan lepas pantai, seperti terlihat di PT Drydocks World Graha.

Dari pengamatan langsung di lapangan juga menunjukkan bahwa, teknologi produksi kapal di Batam masih tergolong konvensional, dimana pembuatan blok-blok badan kapal belum diintegrasikan secara optimal dengan pekerjaan outfitting (perpipaan dan perlengkapan kapal lainnya) pada proses produksinya. Dengan demikian, tingkat produktivitasnya masih rendah dan sulit menyaingi galangan-galangan kapal di negara-negara yang sudah maju teknologi produksinya. Hadisurya mengatakan bahwa, harga kapal baru di Batam sekitar 15 persen lebih mahal dibandingkan dengan harga di Tiongkok dan Filipina.

Oleh karena itu, galangan kapal di Batam juga perlu menerapkan teknologi produksi yang lebih maju agar produktivitasnya terus meningkat. Selain itu, mereka perlu  melakukan reorientasi produk, tidak hanya bergantung pada pesanan tongkang melainkan juga pada kapal-kapal tipe lainnya yang memiliki prospek pasar yang bagus.

Usulan Solusi
Harapan Menko Maritim untuk mereprikasi sukses industri galangan di Batam membutuhkan pembenahan bisnis galangan yang lebih menyeluruh, tidak hanya dengan dengan pembebasan bea masuk komponen kapal dan PPN, melainkan juga perlunya dukungan permodalan yang kompetitif untuk modal kerja, revitalisasi fasilitas/peralatan galangan, dan peningkatan kapasitas.

Bea masuk atas material dan bahan baku pembuatan dan perbaikan kapal yang ditanggung pemerintah perlu direvisi menjadi Bea Masuk Dibebaskan, sehingga galangan kapal tidak mengalami kesulitan birokrasi pengurusannya dan beban biaya yang harus ditanggung di awal. Di sisi lain, pemerintah perlu membuat kebijakan-kebijakan yang juga dapat mendorong tumbuhnya industri komponen di dalam negeri, dimana total biaya material dan komponen kapal mencapai sekitar 70 persen dari total harga kapal.

Selain itu, perlu adanya sinkronisasi kebijakan di sektor maritim, pembatasan impor kapal baru dan bekas, dan insentif-insentif non-fiskal lainnya. Dukungan pemerintah untuk mendorong produksi kapal di dalam negeri perlu dolakukan secara kontinyu, sehingga industri komponen di dalam negeri dan industri pendukung lainnya juga dapat berkembang.

Solusi jangka panjang yang lebih strategis adalah perlunya standarisasi tipe dan ukuran kapal khususnya untuk pelayaran domestik, sesuai karakteristik kelompok rute pelayarannya. Standarisasi ini akan mendorong penguasaan rancang bangun dan peningkatan produktivitas yang berkesinambungan melalui penerapan teknologi maju. Hal ini juga akan meningkatkan efisiensi operasional kapal dan perawatan/perbaikannya.

Entri Populer