Sebagai Negara kepulauan, angkutan laut di Indonesia memiliki peran yang amat
penting dimana sekitar 80 persen angkutan barang domestik dan ekpor impor
dilakukan melalui laut. Selain itu, posisi Indonesia yang sangat strategis juga berpotensi
menjadi Poros Maritim Dunia. Namun selama ini angkutan tersebut tetap dikuasai
oleh armada asing. Sejak penerapan asas cabotage (INPRES 5/2005) hingga akhir tahun 2014, jumlah
armada kapal berbendera Indonesia meningkat tajam (volume ruang muat meningkat sekitar 137 persen), dimana peningkatan
tersebut hampir
seluruhnya merupakan kapal
bekas berusia tua dari luar
negeri. Hal ini
disebabkan karena masalah struktur modal perusahaan pelayaran nasional yang
belum mampu memesan kapal baru, serta kapasitas dan tingkat produktivitas
galangan kapal di dalam negeri yang masih sangat rendah. Hal ini membuat
Pemerintah membebaskan bea masuk kapal bekas guna mempercepat pemenuhan
kebutuhan armada kapal nasional untuk pelayaran domestik. Pada pelayaran ekpor
impor, armada asing masih menguasai sekitar 97 persen.
Dari sekitar 240 unit galangan kapal di dalam negeri, umumnya berukuran
kecil dan bergerak di bidang usaha reparasi kapal. Hanya sekitar 50 galangan
kapal yang mampu membangun kapal dengan total kapasitas terpasang hanya 936.000 DWT, dimana hanya 6 galangan kapal
yang mampu membangun kapal berukuran 10.000 DWT ke atas, termasuk PT PAL yang
sudah berpengalaman membangun kapal hingga 50.000 DWT. Dengan kapasitas yang
adapun tingkat utilitasnya hanya sekitar 30 persen, karena tingkat
produktivitas dan daya saingnya yang sangat rendah, khususnya dalam hal harga
dan waktu penyelesaiannya. Selain itu, sekitar 75-80 persen komponen kapal
masih impor. Semua ini membuat belanja devisa negara di sektor industri
perkapalan dan transportasi laut masih sangat tinggi. Hal ini membuat realisasi
total produksi kapal Indonesia belum masuk dalam 20 besar dunia. Prestasi
tertinggi Indonesia terjadi pada tahun 1998 dimana mampu meraih 0.35 persen
dari total produksi dunia atau sekitar 225.000 DWT, yang umumnya bersumber dari
pembangunan sejumlah kapal tipe Caraka Jaya dan kapal-kapal tanker pesanan
Pertamina, serta beberapa pesanan ekspor di PT PAL Indonesia.
Di sisi lain, persaingan industri kapal dunia semakin ketat dan berkembangnya
industri kapal di kawasan Asia Pasifik terutama The Asian Triangle (China,
Korea, dan Jepang) yang menguasai lebih dari 85 persen total produksi dunia.
Bahkan Philipina dan Vietnam yang ketika tahun 1998 masih berada di bawah
Indonesia, kini mampu berada pada posisi 4 dan 6 dunia setelah masuknya
investasi asing yang cukup besar, khususnya Jepang dan Korea, baik galangan
kapal berkapasitas besar maupun industri komponen kapal. Perkembangan industri
kapal di negara-negara tersebut tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah yang
mendukung, dan klasterisasi industri galangan di beberapa lokasi berdasarkan
kapasitas dan fokus produknya.
Di Indonesia, Pemerintah selama ini telah mengeluarkan berbagai
kebijakan untuk mendorong industri kapal nasional, namun implementasinya tidak
terintegrasi secara baik, sehingga industri galangan kapal nasional yang
merupakan industri hulu tetap saja sulit berkembang. Kini, Pemerintahan
Jokowi-JK memiliki berbagai program pembangunan sektor maritim untuk mewujudkan
daya saing dan kemandirian industri kemaritiman nasional (Nawa Cita 1, 3, 6).
Hal ini kembali merupakan momentum yang tepat untuk membangun industri ini
secara menyeluruh melalui strategi dan
pelaksanaan program yang mampu
memberikan impak yang luas, sehingga seluruh aspek industri kemaritiman tumbuh
secara bersama-sama dan berkesinambungan.
Hal tersebut di atas terungkap dari paparan para Pembicara dan
penyanggah pada Sub-Komisi Perkapalan, serta masukan-masukan dari para peserta
berbagai kalangan (pemerintah, pelaku usaha/industri,
akademisi/peneliti/perekayasa, konsultan, asosiasi dan LSM terkait). Dari
berbagai masukan menekankan bahwa, program pengadaan kapal Negara
perlu disinkronisasikan dengan pengembangan industri maritim di dalam negeri, sehingga
program tersebut memberikan multiplier
effect yang optimal dan berkesinambungan. Harmonisasi kebijakan Pemerintah
menjadi kunci yang mampu menciptakan daya saing industri secara
berkesinambungan, yang didukung dengan inovasi teknologi yang berorientasi pada
standarisasi produk dan pengembangan industri komponen lokal, serta penyediaan
tenaga terampil yang memadai.
Oleh karena itu, standarisasi tipe dan ukuran kapal khususnya pada pelayaran domestik
merupakan bentuk kebijakan teknologi yang mampu mendorong penguasaan teknologi rancang
bangun dan produktifitas galangan kapal nasional, dan menciptakan skala ekonomi
bagi industri komponen lokal dan sumberdaya terkait lainnya. Hal ini juga akan
meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional armada secara menyeluruh,
sehingga secara bertahap kemandirian dan daya saing industri perkapalan
nasional dapat dicapai.
Besarnya kebutuhan pasar domestik termasuk peremajaan armada kapal
menjadi peluang standarisasi tipe dan ukuran kapal sesuai karakteristik
pelayaran di dalam negeri. Dengan kepastian order dan kebijakan yang mendukung
akan mendorong perusahaan galangan untuk melakukan revitalisasi dan peningkatan
kapasitasnya sesuai fokus produknya, dan menarik investor lokal/asing di sektor
industri maritim.
Rekomendasi Bidang Perkapalan:
1.
Program pemerintah dalam pengadaan kapal Negara 2015-2019 (dan
seterusnya) harus
dijadikan dasar RUPIP, dan diintegrasikan dengan program
pengembangan industri
perkapalan nasional, yang mampu menciptakan kemandirian dan
daya saing industri galangan kapal nasional menuju 10 besar dunia pada tahun
2040.
2.
Perlu revitalisasi galangan dan peningkatan kapasitas produksi
kapal nasional melalui aliansi global atau menarik
investasi asing untuk
mempercepat peningkatan total produksi.
3.
Perlu standarisasi tipe dan ukuran kapal sesuai
kebutuhan dan karakteristik pelayaran domestik, dan klasterisasi galangan kapal
di dalam negeri, sehingga mampu meningkatkan produktivitasnya secara cepat, dan
industri komponen lokal dapat tumbuh dengan skala ekonomi yang baik.
4.
Perlu adanya program inovasi teknologi
produk dan teknologi proses produksi yang berorientasi pada penguasaan rancang
bangun dan daya saing produk,
5.
Perlu adanya program peningkatan kapasitas
dan kompetensi SDM secara terencana melalui perbaikan kurikulum pendidikan
menengah dan tinggi, dan penciptaan budaya maritim sejak usia dini.
6. Perlu adanya penataan kelembagaan dan asosiasi terkait, yang mampu menciptakan iklim usaha dan pola sinerji dalam industri secara optimal, sehingga semua pelaku usaha di sektor ini mampu berkembang secara mandiri.
6. Perlu adanya penataan kelembagaan dan asosiasi terkait, yang mampu menciptakan iklim usaha dan pola sinerji dalam industri secara optimal, sehingga semua pelaku usaha di sektor ini mampu berkembang secara mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar